Dalam dunia ilmu pengetahuan, ayam hutan digolongkan ke dalam suku
Phasianidae, suatu kelompok burung berbadan besar yang banyak
menghabiskan waktunya di permukaan tanah. Jantan berbulu sangat indah.
Sebaliknya, betina berwarna suram. Saat musim berbiak, pejantan akan
sibuk berlenggak-lenggok, memperlihatkan keelokan bulunya dengan gerakan
tertentu, untuk memikat sang betina pujaan hati.
Selain bulunya yang indah, burung dalam familia Phasianidae juga
sering mengeluarkan suara yang nyaring dan merdu. Kaki dilengkapi taji
yang runcing untuk mengais permukaan tanah dan bertarung memperebutkan
betina.
Sarang dibangun dari ranting dan daun-daun kering di atas tanah. Saat
senja, burung jantan dan betina yang tidak mengeram, akan terbang ke
atas pohon untuk tidur sekaligus menghindari pemangsa. Kerabat dekat
ayam hutan dalam suku ini meliputi: burung Puyuh, Sempidan, Kuau dan
Merak.
Saat ini terdapat 4 spesies ayam hutan yang semuanya hanya tersebar di Asia (Gambar 1). Keempat jenis ayam hutan tersebut adalah:
- Ayam hutan merah/Red Junglefowl (Gallus gallus, Linnaeus, 1758)
- Ayam hutan abu-abu/Grey Junglefowl (Gallus sonneratii Temminck, 1813)
- Ayam hutan Srilangka/Ceylon Junglefowl (Gallus lafayetii, Lesson 1831)
- Ayam hutan hijau/Green Junglefowl (Gallus varius Shaw, 1798)
Gambar 1. Jenis-jenis ayam hutan Jantan. Searah jarum jam: Ayam hutan abu-abu Gallus sonneratii (kiri atas), Ayam hutan merah Gallus gallus (kanan atas), Ayam hutan Srilangka Gallus lafayetii (kanan bawah) dan Ayam hutan hijau Gallus varius (kiri bawah).
Ayam hutan jantan dan betina, mempunyai bentuk tubuh yang sangat berbeda (sexual dimorfism). Untuk memikat betina saat musim berbiak, jantan dilengkapi warna bulu dan ornamen tubuh yang sangat indah oleh Sang Pencipta.
Kepala ayam hutan dilengkapi dengan
jengger/pial beraneka rupa bak mahkota raja. Satu atau dua gelambir
tumbuh menjuntai indah di bawah dagu yang menambah wibawa. Bulu di
leher, punggung dan sayap tumbuh memanjang dengan kombinasi warna merah,
kuning dan hijau yang sangat cerah. Warna gelap yang berkilauan menjadi
latar belakang, mendominasi bagian bawah tubuh.
Bulu di ekor terbentuk sangat rapi, berwarna gelap dengan deretan
bulu besar yang tersusun sedemikian rupa. Dua bulu yang berada di puncak
ekor tumbuh sangat panjang dan melengkung berbentuk bulan sabit yang
indah. Sepasang taji yang sangat runcing, tumbuh di kedua kaki sebagai
senjata andalan. Ayam betina pun, dijamin akan “klepek-klepek“ alias terkesima, melihat penampilan sang pejantan yang demikian tampan, seperti tampak pada Gambar 1 di atas.
Gambar 2. Jenis-jenis ayam hutan betina. Ayam hutan abu-abu Gallus sonneratii (kiri) dan Ayam hutan merah Gallus gallus (kanan).
Berbeda dengan jantan, tampilan ayam hutan betina terlihat begitu
suram. Warna tubuh didominasi oleh kombinasi warna coklat, kuning gelap
dengan sedikit campuran warna hitam dan putih di sekujur tubuh.
Warna bulu betina yang suram ini, merupakan adaptasi untuk memudahkan
penyamaran (kamuflase), agar terhindar dari predator seperti kucing
hutan, musang, ular sanca dan binatang buas lainnya. Warna bulu betina
yang serupa warna tanah ini sangatlah menguntungkan, terutama saat ayam
betina harus diam mengerami telurnya, dalam sarang yang berada di atas
tanah.
Gambar 3. Jenis-jenis ayam hutan betina. Ayam hutan hijau Gallus varius (kiri) dan Ayam hutan Srilangka Gallus lafayetii (kanan).
1. Ayam hutan Merah/Red Junglefowl (Gallus gallus Linnaeus, 1758)
Ayam hutan merah adalah jenis ayam liar yang paling dikenal. Daerah
sebarannya sangat luas, mulai dari bagian timur Pakistan, India utara
dan timur, Myanmar, barat daya Yunnan (RRC), Thailand, Laos, Kamboja,
Vietnam, Guangxi dan Pulau Hainan (tenggara RRC) hingga Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa dan Bali. Ayam ini kemudian diintroduksi ke
Kalimantan, Filipina, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Tepian hutan dengan
semak terbuka diselingi perdu, menjadi habitat favorit bagi ayam hutan
merah.
Gambar 4. Bagian-Bagian tubuh Ayam hutan merah yang Asli. Bulu penutup ekor (lingkaran kuning) harus berjumlah 4.
Ayam hutan merah termasuk jenis burung berukuran sedang hingga besar.
Panjang total jantan berkisar antara 65-75 cm dengan kisaran berat 0,7
kg – 1,5 kg. Sedangkan betina memiliki panjang 40-45 cm dengan berat 0,5
– 1 kg.
Menurut MacKinnon et al. (2002), ciri-ciri ayam hutan merah jantan
adalah jengger, muka dan gelambir berwarna merah, bulu leher terdiri
dari kombinasi warna kuning, jingga, coklat dengan strip hitam vertikal
di tengah, bulu tengkuk (tidak kelihatan di Gambar 4), penutup ekor dan penutup sayap berwarna hitam bercampur hijau atau biru perunggu.
Bulu mantel berwarna coklat berangan, bulu ekor panjang, dengan warna
hitam bercampur hijau berkilauan. Tubuh bagian bawah juga berwarna
hitam kehijauan. Kaki abu-abu kebiruan dengan taji yang melengkung dan
runcing. Secara sederhana, bagian-bagian tubuh ayam merah dapat dilihat
pada Gambar 4 di atas.
Gambar 5. Sepasang Ayam hutan merah. Jantan (kiri) dan betina (kanan).
Ayam hutan merah betina berwarna coklat suram. Bulu leher kuning
kecoklatan dengan coretan hitam vertikal di tengah bulu. Ayam hutan
betina yang masih asli sama sekali tidak memiliki jengger, gelambir dan
taji. Kalaupun ada, ukuran jengger dan gelambirnya sangat kecil. Profil
ayam hutan merah jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5 di atas.
Gambar 6. Ayam hutan merah jantan sedang berkokok di atas pohon.
Kukuruyuuuuuuk….. Ayam hutan jantan akan berkokok nyaring dari atas
pohon, saat mentari mulai muncul di batas cakrawala. Kokoknya keras tapi
tidak sepanjang kokok ayam kampung. Kokok ayam hutan juga tidak sepagi
ayam kampung yang mulai berkokok sejak dinihari. Hal ini untuk
menghindari datangnya hewan pemangsa, saat hari masih gelap. Jika tanah
sudah benar-benar terang, ayam hutan akan turun menuju semak terbuka
untuk mencari makan.
Ayam jantan memiliki beberapa macam suara kokokan dan panggilan yang
kompleks. Kokok yang nyaring berfungsi untuk menegaskan kehadiran ayam
jantan di tempat tertentu atau sebagai peringatan terhadap ayam jantan
lain agar tidak melanggar batas teritorial. Saat menemukan makanan, ayam
jantan akan memanggil betinanya dengan suara tertentu untuk mendekat
agar lebih mudah dirayu. Jika melihat burung elang atau hewan pemangsa
lainnya, ayam jantan akan memekik keras mengeluarkan nada peringatan.
Setelah turun dari pohon, ayam hutan akan segera sibuk mengais tanah
dan serasah dedaunan untuk mencari serangga, biji-bijian, bunga,
buah-buahan yang jatuh dari pohon, pucuk rumput dan hewan kecil lainnya (Gambar 7). Kadang-kadang, ayam hutan akan menelan beberapa butir pasir, untuk membantu mencerna biji-bijian dalam temboloknya.
Ayam jantan dewasa yang dominan, biasanya akan mencari makan dengan
beberapa selir betinanya. Ayam betina yang memiliki anak yang baru
menetas, cenderung agresif dan sedikit menjaga jarak dari ayam dewasa
lainnya. Sedangkan pejantan dan betina muda, kadang-kadang soliter atau
berkelompok menurut jenis kelaminnya masing-masing.
Saat musim berbiak tiba, ayam jantan akan bertarung memperebutkan betina atau mempertahankan daerah teritorialnya (Gambar 8). Ayam jantan terkuat akan mendapatkan daerah teritorial yang lebih baik dan menarik perhatian beberapa ekor ayam betina.
Ayam jantan dominan akan lebih sering berkokok di daerah
kekuasaannya. Daerah teritorial ini berukuran antara 500 m² hingga 1
km². Ayam jantan yang berpengalaman cenderung menghindari perkelahian
dan tidak akan melewati batas teritori pejantan lainnya, meskipun itu
hanya berjarak 1 m dari batas daerah kekuasaannya.
Kemampuan berkelahi ayam hutan jantan tergolong sangat baik.
Serangannya cepat. Gerakan kakinya juga gesit saat menghindar.
Kelihaiannya dalam melompat dan bertempur di udara, jauh di atas
rata-rata ayam domestik. Gaya bertarungnya sangat indah seperti ayam
Filipina. Namun, bobot tubuhnya yang ringan menyebabkan ayam hutan tidak
tahan pukul. Ayam hutan juga takut menghadapi ayam domestik yang
berukuran jauh lebih besar seperti ayam kampung atau ayam Bangkok.
Perkelahian umumnya terjadi antara pejantan dominan dan pejantan muda
dari kelompok yang sama atau pejantan muda dari luar kelompok saat
musim kawin. Jika pejantan muda mulai sering berkokok, pejantan dominan
akan segera mengusir pejantan muda dari daerah kekuasaannya. Jika
pejantan muda cukup kuat, akan terjadi perkelahian. Tidak jarang,
perkelahian ini akan berakhir dengan kematian salah satu pejantan,
akibat hujaman taji lawan.
Bagi ayam betina, memilih pejantan yang paling kuat adalah syarat
mutlak untuk hidup di alam liar. Pejantan terkuat akan menghasilkan
keturunan yang lebih baik, dapat memberikan perlindungan dari predator
karena tingkat kewaspadaannya yang tinggi dan memperoleh akses bahan
makanan yang lebih banyak di daerah teritorial yang lebih luas.
Berdasarkan siklus reproduksinya, Ayam hutan merah menjalani 3 fase
berbiak. Fase pertama adalah musim kawin, fase kedua musim
bertelur/mengeram dan fase ketiga adalah fase membesarkan anak.
Pada musim kawin, bulu tumbuh sempurna dan berwarna indah.
Konsentrasi hormon testoteron pejantan meningkat. Ayam menjadi lebih
agresif, sering berkokok untuk menarik perhatian betina dan mudah
terprovokasi pejantan lain. Pada musim ini, ayam hutan jantan sangat
mudah ditangkap dengan umpan ayam pekatik.
Agresifitas pejantan akan menurun saat musim bertelur tiba. Pejantan
lebih sering mendampingi ayam betina menjelajah daerah teritori, mengais
tanah dan mencari makan. Seringkali, pejantan mengabaikan provokasi
pejantan lain, sehingga pada fase ini para penangkap ayam hutan dengan
umpan pekatik akan pulang dengan tangan hampa.
Memasuki fase mengeram, ayam betina lebih banyak berdiam di sarang.
Sedangkan pejantan memasuki fase gugur bulu pada bagian lehernya.
Bulu-bulu leher yang panjang berwarna kuning keemasan akan rontok
digantikan bulu pendek berwarna hitam. Pejantan jarang berkokok dan
lebih banyak mengawasi sarang dari kejauhan.
Ayam hutan merah membuat sarangnya di atas tanah (Gambar 9).
Sarang ini berada di dalam semak-semak, tertutup oleh serasah daun dan
ranting yang kering, agar terlindung dari sengatan cahaya matahari dan
hujan. Betina akan bertelur sebanyak 2-12 butir setiap musim berbiak
(tergantung sub-spesiesnya). Telur ini akan dierami selama 21 hari atau
lebih hingga menetas.
Gambar 10. Dua anak ayam hutan dan tiga anak ayam
kampung umur satu pekan. Perhatikan bulu sayap yang tumbuh sangat cepat
pada anak ayam hutan. Bulu sayap ini berwarna putih abu-abu. Sayap anak
ayam kampung tumbuh lebih lambat dan tetap berwarna coklat. Sumber:
http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html.
Anak ayam yang baru menetas berwarna kuning gelap dengan garis coklat
besar di punggung dan kepalanya untuk berkamuflase. Bulu sayap tumbuh
cepat berwarna coklat abu-abu keputihan (Gambar 10).
Anak ayam umur satu pekan sudah mampu terbang dalam jarak pendek. Dalam
beberapa pekan, anak ayam ini dapat terbang dengan cepat untuk
menghindari pemangsa.
Menurut Dr. Shaik Mohamed Amin Babjee, seorang peneliti ayam hutan
dari Malaysia, anak ayam hutan sangat sensitif terhadap gangguan
sehingga mudah mengalami stress. Ketahanan tubuh juga tidak sekuat anak
ayam kampung sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Ayam hutan betina akan mengasuh anaknya hingga mampu mandiri dan
mencari makan sendiri. Ayam betina mencapai umur dewasa dan siap kawin
saat berumur 8-10 bulan. Sedangkan ayam jantan, mencapai usia dewasa
sepenuhnya saat berumur sekitar 12 bulan. Dibandingkan jenis ayam
lainnya, ayam hutan memiliki laju pertumbuhan yang lambat.
Sub-spesies Ayam hutan Merah
Berdasarkan daerah sebaran dan morfologinya, William Beebe
(1877-1962), seorang naturalis asal New York, Amerika Serikat, dalam
publikasi risetnya A Monograph of the Pheasants, ditambah dengan beberapa ahli burung lainnya, membagi ayam hutan merah (Gallus gallus) menjadi 5-6 sub-spesies yang berbeda:
-Ayam Hutan Cochin-China (Gallus gallus gallus
Linnaues, 1758), tersebar di Vietnam, Laos selatan dan timur, Thailand
timur. Ayam ini memiliki bulu leher yang sangat panjang dengan warna
merah-jingga hingga keemasan dengan ujung bulu meruncing berwarna
jingga. Di tengah bulu terdapat strip tipis berwarna coklat. Cuping
telinga umumnya besar dan berwarna putih.
-Ayam Hutan Burma (Gallus gallus spadiceus
Bonnaterre, 1792), tersebar mulai dari Yunnan barat daya (RRC), Burma,
Laos utara, Thailand, Semenanjung Malaya hingga Sumatera bagian utara.
Sub-spesies ini memiliki ciri yang sama dengan sub-spesies sebelumnya
dengan pengecualian pada bulu leher dan cuping telinganya yang berukuran
sedang sampai besar berwarna putih atau merah.
-Ayam Hutan India (Gallus gallus murghi Robinson
dan Kloss, 1920), tersebar mulai dari Pakistan timur ke India tengah
dan hingga daerah Assam di timur India. Ciri khas dari subspesies ini
adalah adanya strip berwarna hitam yang lebar di tengah bulu leher.
Namun, seringkali ayam dengan ciri seperti sub-spesies sebelumnya juga
banyak ditemukan di India. Bulu leher ayam hutan India juga sangat
panjang, berwarna merah jingga hingga keemasan dengan ujung meruncing
berwarna orange (jingga).
-Ayam Hutan Tonkin (Gallus gallus jabouillei,
Delacour dan Kinnear, 1928), tersebar di Guangxi, Kwangtung dan Pulau
Hainan (RRC) dan Vietnam bagian utara. Sub-spesies ini dikenali dari
bulu lehernya yang pendek, berwarna merah jingga gelap dengan ujung
meruncing dan ukuran jengger/pial dan cuping telinga yang berwarna merah
yang kecil.
-Ayam Hutan Jawa (Gallus gallus bankiva,
Temminck, 1813) tersebar di Pulau Sumatera bagian selatan, Jawa dan
Bali. Ayam ini termasuk sub-spesies yang paling unik karena bulu
lehernya yang pendek, lebar, dengan ujung membulat. Sayap berukuran
besar. Bulu lehernya berwarna jingga gelap dengan warna merah yang
pendek dibandingkan warna jingganya. Jengger dan cuping telinga
berukuran kecil dan berwarna merah. Analisis genetik menunjukkan ayam
hutan Jawa merupakan sub-spesies tertua dengan karakter gen yang sangat
berbeda dibandingkan dengan sub-spesies lainnya.
-
Ayam Peliharaan (
Gallus gallus domesticus,
Linnaeus, 1758), dari nama ilmiahnya, ayam hutan merah dan ayam
peliharaan masih terhitung satu spesies, bukan 2 spesies yang berbeda.
Saat ini, terdapat ratusan kultivar atau varian ayam peliharaan yang
tersebar di seluruh dunia. Kultivar atau varian tersebut muncul sebagai
hasil seleksi dan budidaya manusia selama ribuan tahun, untuk
mendapatkan ayam dengan sifat-sifat unggul yang diinginkan. Ratusan
varietas ayam peliharaan dari seluruh dunia, dapat dilihat di situs web:
http://www.feathersite.com/.
Penelitian filogenetik yang dilakukan terhadap 3 subspesies ayam
hutan merah (G. g. gallus, G. g. spadiceus dan G. g. bankiva) yang
dibandingkan dengan spesies ayam hutan lainnya, mendapatkan hasil yang
menarik. Ayam hutan merah, ternyata memiliki hubungan yang lebih dekat
dengan ayam hutan hijau. Sedangkan ayam hutan abu-abu lebih dekat
kekerabatannya dengan ayam hutan Srilangka. Hal tersebut diungkapkan
oleh peneliti LIPI, Sulandari dkk (2006) dalam Dywyanto dan Prijono
(2007).
Kesimpulan ini, sesuai dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan
bahwa secara alami, ayam yang daerah sebarannya lebih dekat, cenderung
untuk memiliki hubungan kekerabatan yang lebih erat pula.
Peneliti dari Jepang Fumihito dkk (1994) serta peneliti LIPI
Sulandari dkk (2006) dalam Dywyanto dan Prijono (2007), menyatakan
bahwa ayam hutan merah adalah nenek moyang dari ayam peliharaan.
Kesimpulan ini didasarkan pada hasil riset terhadap susunan DNA
mitokondria ayam peliharaan (ayam ras dan ayam kampung) yang lebih mirip
dengan DNA mitokondria ayam hutan merah dibandingkan spesies ayam hutan
lainnya. Salah satu berita yang memuat penemuan ini dapat dilihat di
http://www.antaranews. com/view/?i=1201011680&c=TEK&s=
Hasil riset juga menunjukkan bahwa ayam kampung yang tersebar luas di
Indonesia, memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ayam hutan
Cochin-China (G. g. gallus) dan Ayam hutan Burma (G. g. spadiceus)
dibandingkan dengan ayam hutan Jawa (G. g. bankiva).
Gambar 11. Beberapa varietas ayam lokal nusantara (
Gallus gallus domesticus). Sumber:
http://www.kaskus.us
Menurut LIPI, di Indonesia setidaknya terdapat 31 varietas lokal ayam
peliharaan. Beberapa varietas lokal yang terkenal, diantaranya adalah:
Ayam Kedu/Ayam Cemani (Magelang-Temanggung), Ayam Pelung
(Cianjur-Sukabumi), Ayam Sentul (Ciamis), Ayam Banten, Ayam Ciparage
(Karawang), Ayam Bali, Ayam Wareng (Jateng-Jatim), Ayam Delona (Klaten),
Ayam Balenggek (Sumbar), Ayam Sumatera (populer di Amerika), Ayam
Merawang (Bangka), Ayam Gaok (Pulau Puteran-Sumenep), Ayam Nunukan
(Tarakan-Kaltim), Ayam Sedayu (Bantul-Jateng), Ayam Tolaki (Kendari),
Ayam Tukong (Kalbar), Ayam Kalosi (Enrekang-Sulsel), Ayam Ketawa
(Sidrap-Sulsel) dan Ayam Ayunai (Merauke) (Gambar 11).
Analisis DNA dan analisis Filogenetik yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI bekerja sama dengan International Livestock Research Institute
di Nairobi, Kenya, menunjukkan, bahwa ayam lokal Indonesia memiliki
ciri dan karakter unik yang sangat berbeda dengan ayam dari negara lain.
Dengan demikian, Indonesia termasuk salah satu area yang menjadi pusat
domestikasi ayam di dunia, selain China dan India.
Ciri-Ciri Ayam Hutan Merah yang Asli
Ayam hutan merah memiliki variasi ciri fisik yang sangat beraneka
ragam. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama faktor
lingkungan seperti habitat, ketinggian, kondisi geografis dan lain-lain.
Di India, ayam hutan merah (sub-spesies murghii) dari daerah utara
yang didominasi oleh pegunungan bersuhu dingin, memiliki rata-rata
ukuran tubuh yang lebih besar dengan bulu leher yang lebih lebat dan
panjang, dibandingkan dengan ayam hutan merah (sub-spesies murghii),
dari dataran yang lebih rendah di selatan.
Satu-satunya sub-spesies ayam hutan merah yang paling kuat karakter
fisiknya, adalah ayam hutan merah subspesies bankiva, dari Indonesia. Ciri fisik yang paling menonjol dari ayam ini adalah bulu leher yang pendek, dengan ujung bulu membulat (tidak runcing).
Akibat isolasi selama ribuan tahun, subspesies bankiva juga memiliki
komposisi genetik unik, yang agak jauh berbeda dari subspesies ayam
hutan lainnya. Di duga, subspesies bankiva merupakan varian ayam hutan
yang berumur lebih tua.
Salah satu kendala utama dalam usaha konservasi ayam hutan merah,
adalah makin langkanya ayam hutan yang masih benar-benar berdarah murni
atau asli. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi genetik dari
sub-spesies ayam yang lain, terutama ayam kampung (Gallus gallus domesticus).
Perkawinan antara 2 subspesies ayam yang berbeda, dalam hal ini: ayam
hutan merah vs ayam kampung, sangat mungkin terjadi, karena 2 ayam
tersebut berasal dari satu spesies yang sama (Gallus gallus). Ayam hasil perkawinan silang (hybrid) ini, di Jawa dan Sumatera Selatan, dikenal sebagai ayam Brugo atau Bruga atau Bruge (istilah ayam Brugo akan terus kami gunakan dalam postingan kali ini).
Perkawinan silang (cross breeding) antara ayam hutan merah
dengan ayam kampung, seringkali terjadi secara alami di tepi hutan yang
berbatasan dengan pemukiman penduduk.
Dari sisi konservasi, “perselingkuhan” ini sangat merugikan,
karena akan menurunkan kualitas genetik dan menyebabkan hilangnya
sumber plasma nutfah asli, dari populasi ayam hutan di daerah tersebut.
Kontaminasi gen ayam hutan oleh ayam kampung ini dikenal sebagai: polusi genetik.
Bagi kebanyakan orang, membedakan ayam jantan hasil kawin silang (Brugo)
dengan ayam hutan jantan yang asli, agak sulit dilakukan, karena kedua
ayam tersebut seringkali memiliki ciri fisik yang nyaris serupa.
Meskipun demikian, sebagai burung liar, ayam hutan asli masih memiliki
ciri khusus yang tidak ditemukan pada ayam Brugo.
Gambar 12. Profil ayam hutan asli yang ideal. Bentuk
kepala kecil, jengger dan gelambir juga kecil, bulu lebat, mengkilap
dan tersusun rapi. Kaki ramping abu-abu kebiruan. Ayam hutan tidak harus
selalu bercuping putih. Pada gambar ayam hutan di atas, cuping telinga
berwarna merah. Sumber: Burrard-Lucas.com
Berikut ini beberapa ciri-ciri ayam hutan asli yang kami kutip dari
http://ayamhutan.tripod. com/
junglefowl.html dan beberapa website lainnya.
Jika
salah satu saja, dari ciri ayam hutan yang diuraikan di bawah ini,
tidak ditemukan pada tubuh ayam yang diperiksa, maka hampir dapat
dipastikan, ayam tersebut adalah ayam Brugo .
a. Bentuk tubuh yang ramping
Ayam hutan yang masih berdarah murni (asli), memiliki bentuk tubuh
yang ramping. Rata-rata ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan
dengan ayam kampung. Gerakannya gesit dan cepat.
Memiliki kemampuan terbang yang baik. Kewaspadaan nya tinggi. Kemampuan
seperti ini sangat penting bagi ayam hutan yang hidup di alam liar,
karena banyaknya ancaman dari hewan pemangsa.
Sebaliknya, ayam Brugo atau ayam kampung, memiliki tubuh yang lebih gempal, lebih berotot dengan bobot yang lebih berat.
Akibat proses domestikasi selama ratusan bahkan ribuan tahun, ayam
kampung sudah tidak lagi memiliki ciri-ciri seperti ayam hutan. Ayam
kampung boleh dikatakan, hidup di habitat yang lebih nyaman dan
“modern”.
Ayam kampung tidak perlu bersusah payah mencari makanan, karena
setidaknya pemiliknya akan memberi makan setiap hari. Jika tidak diberi
makan, makanan sisa yang dibuang atau sumber makanan yang lain, juga
masih dapat ditemukan dengan mudah di sekitar perkampungan/pemukiman.
Ayam kampung juga merasa lebih aman hidup dekat dengan manusia.
Predator alami ayam hutan seperti kucing hutan, burung elang, ular,
musang dan lain-lain, nyaris tidak ditemukan di sekitar perkampungan.
Oleh sebab itu, kewaspadaan dan kemampuan terbang yang baik juga tidak
diperlukan.
Banyaknya makanan dan kurangnya gerak, menyebabkan ayam kampung
bertubuh lebih gempal dan lamban. Jika ayam kampung kawin dengan ayam
hutan, gen gempal dari ayam kampung akan diturunkan ke ayam brugo.
Itulah sebabnya, mengapa ayam Brugo tidak selangsing ayam hutan.
Gambar 13. Perbedaan bentuk tubuh dari pejantan ayam kampung atau ayam Brugo (kiri) dengan ayam hutan merah (kanan).
b. Kepala,Jengger/Pial dan Pial berukuran kecil
Ayam hutan merah yang asli
memiliki bentuk kepala yang kecil. Jenggernya selalu berpial bilah atau
pial tunggal bergerigi yang tipis. Sepasang gelambir yang menggantung di dagu berukuran kecil. Cuping telinga juga kecil atau sedang, berwarna putih atau merah. Ayam hutan yang asli, tidak harus selalu bercuping putih (Gambar 12).
Bulu leher ayam hutan sangat lebat dan berwarna lebih cerah. Warna
jengger, gelambir dan muka terlihat agak pucat (merah jambu atau pink)
di luar musim berbiak. Sedangkan saat musim kawin tiba, bagian muka,
jengger dan gelambirnya berwarna merah cerah. Kemungkinan konsentrasi
hormon reproduksi berpengaruh terhadap warna jengger ini.
Ayam kampung atau ayam Brugo, sebaliknya memiliki kepala, pial dan
gelambir yang besar dan kasar. Bulu leher lebat dengan warna yang agak
kusam. Perbedaan kepala ayam hutan jantan yang asli dengan ayam jantan
Brugo dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
Gambar 14. Perbedaan kepala Ayam hutan jantan (kiri) dengan ayam kampung jantan atau ayam Brugo (kanan).
Ayam hutan betina yang asli, tidak pernah memiliki jengger dan gelambir sedikit pun. Kalaupun ada, ukurannya sangat kecil. Wajah berwarna merah jambu (pink)
dengan warna bulu coklat kuning keemasan yang melingkar di sekeliling
wajah. Bulu leher berwarna hitam dengan tepi bulu berwarna kuning emas
yang tipis. Penutup telinga berwarna kuning kecoklatan. Bulu dada
berwarna coklat emas kemerahan. Kepala ayam hutan betina yang asli dapat
dilihat pada Gambar 15 (kiri) di bawah ini.
Gambar 15. Ciri spesifik ayam hutan betina. Kepala
ayam hutan betina yang asli (kiri), kepala betina Brugo dengan warna
bulu berwarna putih keperakan (tengah), kepala betina Brugo dengan
jengger/pial dan sepasang gelambir serta warna bulu leher yang lebih
cerah (kanan). Sumber:
http://ayamhutan.tripod.com/junglefowl.html
c. Terjadinya gugur bulu (moulting) di leher
Salah satu perbedaan yang paling menyolok dan sangat jelas antara ayam hutan asli dengan ayam hasil silangan (Brugo) adalah adanya periode gugur bulu (moulting) di leher, yang hanya ditemukan pada jenis ayam hutan asli.
Sebagai burung liar, ayam hutan jantan hanya memiliki bulu leher yang
sangat lebat, selama musim berbiak/musim kawin saja. Selain musim itu,
ayam hutan hanya memiliki bulu leher pendek berwarna hitam (Gambar 16 kiri). Ayam Brugo atau ayam kampung tidak pernah mengalami periode gugur bulu leher seperti ini.
Gambar 16. Pertumbuhan bulu leher pada ayam hutan
asli. Ayam hutan jantan dengan bulu leher pendek berwarna hitam (kiri).
Bulu leher yang mulai tumbuh (tengah). Bulu leher yang sudah tumbuh
sempurna pada musim kawin (kanan). Ketiga ayam jantan di atas adalah
ayam yang sudah dewasa sepenuhnya (bukan ayam muda). Perhatikan bentuk
kepala dan jengger kecil yang menjadi ciri khas ayam hutan asli. Sumber:
http://redjunglefowl.webs.com/idealspecimens.htm
d. Bulu tubuh dan bulu ekor yang tersusun sangat rapi
Ayam hutan jantan yang asli memiliki susunan bulu ekor yang sangat rapi, teratur dan mengkilap.
Hal ini sangat penting bagi pejantan, sebagai modal untuk menarik hati
betina. Saat musim berbiak, betina biasanya akan jual mahal dan berusaha
mencari pejantan berpenampilan paling trendy dan paling kuat untuk
menjamin masa depannya.
Bulu tubuh jantan selalu ditelisik dengan teratur agar tetap rapi dan
bersih bebas dari kutu. Warna bulu ekor pun selalu hitam bercampur
hijau berkilauan. Bulu di pangkal ekor berwarna putih dan tumbuh lebih
lebat.
Pada ayam hutan jantan, 4 pasang bulu penutup ekor yang paling luar (Gambar 4 yang dilingkari garis kuning) akan selalu tumbuh lebih kecil dan selalu lebih pendek dibandingkan bulu ekor utama. Sepasang bulu ekor yang paling atas, akan selalu tumbuh paling panjang dan melengkung, membentuk formasi bulan sabit yang indah.
Berbeda dengan ekor ayam hutan, ekor ayam jantan hasil silangan (ayam
Brugo) atau ekor ayam kampung memiliki susunan yang tidak jelas, bahkan
cenderung berantakan. Bulu penutup ekor yang terletak paling luar,
seringkali tumbuh lebih panjang dari bulu ekor utama. Perbedaan bentuk
ekor ini dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini.
Gambar 17. Bulu ekor ayam hutan asli (kiri) memiliki
susunan yang teratur dan sangat rapi. Bulu penutup ekor terluar (yang
tumbuh dekat bulu pangkal ekor yang putih) hanya berjumlah 4
dan tidak pernah tumbuh melewati bulu utama. Bulu pangkal ekor yang
putih pada ayam hutan asli juga lebih lebat. Pada ayam kampung (kanan),
bulu ekor biasanya tumbuh tidak beraturan. Bulu penutup ekor terluar,
seringkali tumbuh lebih panjang dari bulu ekor utama.
e. Kaki lebih ramping berwarna abu-abu kebiruan
Ayam hutan jantan yang asli
memiliki kaki yang ramping, selalu berwarna abu-abu gelap kebiruan,
dengan taji yang meruncing alami dan melengkung indah. Sisik juga lebih
halus . Pada ayam
hasil silangan (Brugo) atau ayam kampung, kaki umumnya lebih besar
dengan sisik yang kasar berwarna kekuningan atau kehitaman. Taji besar
dan tumbuh tidak beraturan (Gambar 18).
f. Warna bulu yang lebih cerah dan mengkilap
Keindahan bulu bagi ayam hutan jantan sangatlah penting, dan menjadi
salah satu modal utama untuk memikat betina. Warna ayam hutan yang
sangat cerah ini, dapat ditemukan selama musim kawin atau musim berbiak.
Berbeda dengan ayam hutan, ayam kampung (ayam domestik) tidak
mengenal musim berbiak. Unggas peliharaan ini dapat kawin setiap saat,
kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja
. Mungkin karena
sifatnya inilah, sehingga selama ribuan tahun proses budidaya, dapat
dihasilkan ratusan varian ayam dengan berbagai fungsi (petelur,
pedaging, ayam hias) yang tersebar di seluruh dunia (bisa dilihat di di
http://www.feathersite.com).
Terjaminnya suplai makanan, rasa aman dari pemangsa serta hilangnya
sifat mengeram pada sebagian ras ayam domestik, memungkinkan ayam betina
untuk bertelur nyaris setiap hari, sepanjang tahun. Ayam betina di
dalam kandang sudah tak peduli lagi, apakah pejantan pasangannya
termasuk ayam yang ganteng atau tidak, yang penting bisa “melaksanakan
tugas” dengan baik. Jadi, dalam hal kawin mawin, bulu yang indah bagi
pejantan ayam domestik, sudah tidak diperlukan lagi. Periode moulting
atau rontoknya bulu leher pun, tidak dikenali lagi oleh ayam domestik.
Gambar 19. Ayam hutan yang sedang minum ini sangat
waspada dengan kondisi sekitar. Perhatikan bulu ekornya yang tersusun
rapi, serta bulu lehernya yang lebat dan mengkilap (Gambar 12). Foto: Giovani M.
Beberapa Contoh Ayam hasil silangan (Brugo)
Dari Gambar 20 di bawah ini, dapat dilihat beberapa
jenis ayam yang kemungkinan besar adalah hasil persilangan antara ayam
hutan dengan ayam peliharaan. Ayam pada gambar di sebelah kiri memiliki
pola warna yang menyerupai ayam hutan, namun bentuk tubuh yang gempal
dan kakinya yang besar menunjukkan bahwa ayam ini adalah ayam silangan.
Ayam di bagian tengah, juga memiliki postur yang menyerupai ayam
hutan, tetapi keberadaan pola totol-totol putih di sekujur tubuhnya
menunjukkan, bahwa kemungkinan besar, ayam ini juga termasuk hasil kawin
silang.
Gambar 20. Beberapa contoh ayam hasil silangan (Brugo).
Ayam di sebelah kanan pada Gambar 20 di atas,
merupakan salah satu ayam hias dari Jepang. Kadang-kadang, ayam Brugo
dengan pola warna kuning seperti ini, juga ditemukan pada populasi ayam
liar di tepi hutan yang berbatasan dengan pemukiman penduduk.
Ayam Hutan Feral
Di Kepulauan Hawaii dan Cook Island (Pasifik Tenggara), juga
ditemukan populasi ayam hutan merah peliharaan yang terlepas dari
kandang, dan kemudian hidup liar (feral) di daerah pedalaman.
Ciri fisik ayam ini sangat mirip dengan ayam hutan asli. Kemungkinan,
dahulunya ayam peliharaan yang terlepas adalah ayam hutan asli yang
kemudian kawin dengan ayam setempat, hingga berkembang menjadi populasi
ayam liar, seperti yang ditemukan saat ini.
Gambar 21. Populasi ayam hutan feral di Kepulauan
Cook. Oleh peneliti, ayam hutan ini disimpulkan telah terkontaminasi
genetik ayam domestik setempat sehingga dikategorikan sebagai ayam
silangan (Crossbred/Brugo).
Dari Gambar 21 di atas, dapat dilihat bentuk fisik
ayam liar yang sangat mirip sekali dengan ayam hutan asli. Bentuk tubuh
yang sedikit gempal pada ayam kiri, jengger yang besar pada ayam jantan
sebelah kanan dan adanya jengger pada ayam betina (inset), menunjukkan
bahwa ayam hutan ini telah terkontaminasi oleh gen ayam setempat,
sehingga sudah tidak murni lagi.
Berburu ayam hutan merah
Ayam hutan merah biasanya ditangkap dengan menggunakan jerat atau
ditembak dengan senapan angin. Untuk menjerat ayam hutan, digunakan
umpan berupa ayam jantan yang sudah jinak (ayam Brugo) sebagai ayam
pemikat atau pekatik. Di sekitar ayam hutan pemikat di pasang jerat dari
benang atau bahan lainnya.
Cara lain untuk menjerat ayam hutan adalah dengan menaburkan makanan
berupa gabah, beras atau biji-bijian di sekitar perangkap. Alat ini
haruslah di pasang di tempat yang biasa dilewati ayam hutan merah. Bekas
cakaran ayam di tanah saat mencari makan, dapat menjadi pedoman untuk
memperkirakan tempat yang baik untuk memasang perangkap.
Jebakan tanpa umpan yang mengandalkan daya tarik pohon yang dibuat
melengkung, juga dapat dipasang di lokasi yang diperkirakan sering
dilalui ayam hutan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat di situs:
http://ayam kasintu.blogspot.com.
Gambar 22. Contoh jerat ayam hutan (kiri atas). Sumber:
http://ayamkasintu.
blogspot.com.
Seorang pemburu di Jawa Barat dengan ayam hutan hasil buruannya. Dari
warna bulu lehernya yang pendek dan membulat, kemungkinan besar ayam
hutan ini adalah ayam hutan Jawa
Gallus gallus bankiva (kanan). Sumber:
http://paningaran sniper.blogspot.com/2010/01/p-g-o-l-b-ayam-hutan-merah-kasintu.html.
Ayam Brugo yang menjadi ayam pemikat (ayam pekatik) untuk memancing
ayam hutan merah di Sumatera Selatan (kiri bawah). Sumber:
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/815/.
Budidaya ayam hutan merah
Ayam hutan yang baru ditangkap dari alam, sangat sulit dijinakkan,
karena sifatnya yang liar. Ayam ini juga mudah mengalami stress, karena
tidak terbiasa dengan suara yang ramai atau gaduh. Jika stress ini
berlanjut, nafsu makan ayam hutan menurun drastis. Ayam pun akan semakin
lemah karena tidak mau makan dan rentan terhadap penyakit.
Saat panik atau terkejut, ayam hutan yang biasanya ditempatkan di
dalam kandang yang sempit, akan berusaha keluar dengan menabrak dinding
kandang. Seringkali, benturan yang terjadi menimbulkan luka di kepala
dan sayap. Jika tidak ditangani dengan segera, luka ini dapat berkembang
menjadi infeksi. Ayam hutan pun, bisa jadi almarhum dibuatnya.
Menjinakkan ayam hutan liar dari alam, jelas membutuhkan kesabaran
dan ketekunan yang tinggi. Diperlukan waktu yang lama, untuk membuat
ayam hutan menjadi lebih jinak dan menurut. Melakukan penangkaran
terhadap ayam hutan juga bukan perkara mudah, karena harus memenuhi
bermacam persyaratan agar ayam hutan merasa nyaman dan mau bereproduksi.
Menurut pihak Taman burung TMII, penangkaran ayam hutan merah di
kandang besar dan luas yang didesain khusus, seperti di habitat aslinya
akan memberikan hasil yang lebih baik. Ayam merah yang dipelihara di
kubah burung TMII, dilaporkan dapat berbiak sepanjang tahun tanpa
mengenal musim. Hal ini diduga terkait dengan kenyamanan dan kecukupan
bahan makanan yang diperoleh ayam hutan di dalam kubah.
Beberapa penangkar burung di Malaysia dan Thailand sudah menangkarkan
ayam hutan murni, untuk menghindari polusi genetik ini. Penangkaran ini
dilakukan dengan memelihara ayam dalam kandang besar dari kawat
berukuran 3 x 3 x 4 meter yang ditempatkan di tepi hutan yang tidak ada
bangunan sama sekali di sekitarnya. Kondisi kandang dibuat semirip
mungkin dengan habitat asli. Kandang tersebut beralas tanah dengan
serasah yang dilengkapi tempat bersarang dan kayu atau cabang pohon
sebagai tenggeran.
Harga ayam hutan bersertifikat hasil penangkaran yang dijamin
keasliannya ini, cukup mahal dan diekspor, untuk memenuhi kebutuhan
pasar Eropa dan Amerika.
Cara lain yang lebih mudah untuk membudidayakan ayam hutan merah
adalah dengan mengambil telur ayam hutan dari sarangnya, kemudian
ditetaskan di mesin tetas atau dititipkan pada induk ayam kampung yang
sedang bertelur/mengeram. Anak ayam hutan yang ditetaskan dengan cara
ini, setelah dewasa, biasanya lebih mudah beradaptasi dengan manusia.
Meskipun demikian, karakter dan nalurinya sebagai burung liar masih
tetap ada.
Pasar ayam hutan merah
Proses budidaya yang sulit, birokrasi yang rumit (untuk ekspor) serta
nilai ekonomi yang belum menjanjikan, membuat penangkaran ayam hutan
yang asli/murni/bersertifikat untuk tujuan komersial, tidak populer di
Indonesia. Dapat dipastikan, sebagian besar ayam hutan merah yang ada di
pasaran di Indonesia, merupakan hasil tangkapan dari alam atau ayam
hutan hasil silangan (Brugo).
Menjual ayam hutan hasil silangan (Brugo) di pasaran, jauh lebih
mudah, karena selain jinak, juga tahan terhadap tekanan lingkungan.
Seringkali, ayam Brugo ini diberi label “ayam hutan asli yang sudah jinak“, untuk mendongkrak harga dan memanfaatkan ketidaktahuan konsumen akan ciri ayam hutan yang asli.
Memasarkan ayam hutan hasil tangkapan dari alam jauh lebih beresiko,
karena ayam hutan mudah stress dan rentan terhadap penyakit. Pembeli
tentu tidak mau membeli ayam hutan yang kelihatan pucat, lemah dan
sakit. Membuat ayam hutan menjadi lebih jinak juga membutuhkan waktu
yang lama, sehingga tidak ekonomis. Ayam hutan hasil tangkapan dari alam
pun, belum tentu ayam hutan asli, sebab kemungkinan kontaminasi dari
ayam domestik seperti telah diceritakan di atas, juga cukup besar. Jadi,
bagi sobat-sobat yang ingin membeli dan memelihara ayam hutan yang
asli, kami harap untuk berhati-hati…
Dari hasil diskusi dengan beberapa narasumber yang pernah memelihara
ayam hutan merah dan ayam Brugo, penulis memperoleh beberapa informasi
menarik. Sebagian besar narasumber, menyarankan untuk memelihara ayam
Brugo, karena pemeliharaannya lebih mudah, karakternya lebih jinak dan
daya tahan tubuhnya kuat. Ayam Brugo juga berkokok lebih nyaring, lebih
panjang dan lebih sering dibandingkan dengan ayam hutan merah.
Memelihara ayam hutan asli bagi hobiis yang belum berpengalaman
sangatlah tidak dianjurkan, karena sifat ayam hutan yang rentan terhadap
stress dan penyakit.
Hubungan ayam hutan merah dengan manusia
Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa ayam hutan merah telah
didomestikasi sejak 6000 tahun yang lalu di Henan (China). Stempel
kerajaan bergambar ayam juga ditemukan di Mohenjo-daro yang diperkirakan
berasal dari rentang waktu 3000-2000 tahun sebelum masehi.
Awalnya, ayam hanya dipelihara sebagai hewan aduan. Selanjutnya,
didomestikasi untuk diambil daging dan telurnya. Di Mesir, ayam telah
diintroduksi oleh pedagang dari timur sejak zaman Fir’aun dan dikenal
sebagai “burung yang dapat bertelur setiap hari”. Sekitar tahun 600 SM,
ayam memasuki Eropa dan menjadi salah satu dewa untuk pemujaan yang
melambangkan kesuburan, keperkasaan dan kemakmuran (Diwyanto dan
Prijono, 2007).
Boleh dikata, ayam hutan merah yang menjadi nenek moyang ayam
peliharaan, adalah spesies burung yang paling berjasa. Ayam hutan ini
bersama dengan seluruh varian turunannya telah lama menjadi salah satu
sumber protein utama bagi manusia. Selain itu, ayam dengan berbagai
bentuk, gerak-geriknya yang lucu dan suara kokoknya yang unik, juga
menjadi satwa “penawar duka” bagi manusia yang kerap dirundung nestapa.
Ayam adalah salah satu menu makanan favorit masyarakat dunia. Hal ini
dapat dilihat dari sebaran jaringan restoran fastfood global yang dapat
ditemukan dengan mudah di kota-kota besar, seperti: Mc Donald, Kentucky
Fried Chicken (KFC), Texas Fried Chicken, Kamerun Fried Chicken (?)
dan FC FC lainnya. Adapula yang sifatnya lokal seperti CFC, Mbok Berek,
Warung Pecel Lele, Warung Sari Laut, Sate Ayam Madura, Ayam Goreng
Kalasan, Ayam Goreng Sulawesi dan lain-lain. Saat hari raya, baik Idul
Fitri maupun Idul Adha, hidangan dari daging ayam berjaya mendampingi
ketupat di meja makan.
Ayam hutan merah jantan menampilkan kesan yang gentle,
gagah, berani dan pantang menyerah. Di Indonesia, beberapa institusi
menggunakan ayam hutan merah jantan sebagai lambang. Salah satunya
adalah Universitas Hasanuddin, sebuah perguruan tinggi negeri di
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Gambar 23. Lambang Universitas Hasanuddin (kiri), perangko bergambar Sultan Hasanuddin (kiri tengah), France Cock (kanan tengah) dan lambang tim nasional Perancis (Kanan).
Lambang ayam jantan tersebut digunakan untuk mengenang pahlawan
Nasional, Sultan Hasanuddin (1631-1670) yang berjuang dengan gigih,
menentang penjajah. Belanda pun kagum dengan keberanian Sultan
Hasanuddin, sehingga menggelari Raja Gowa ke-16 tersebut dengan sebutan,
“De Haantjes van Het Oosten” atau ayam jantan dari benua
timur. Ayam hutan merah jantan juga dikenal sebagai lambang nasional
negara Perancis. Jika sobat penggemar fanatik sepak bola, cobalah tengok
lambang di dada pemain timnas Perancis, akan nampak sesosok ayam
jantan, berdiri dengan gagah di sana (Wikipedia).
Status Konservasi
Populasi ayam hutan di berbagai negara di Asia cenderung terus
menurun akibat perburuan dan degradasi habitat. Namun, ancaman paling
utama terhadap populasi ayam hutan adalah munculnya polusi genetik yang
diakibatkan oleh terjadinya kawin silang secara alami, antara ayam hutan
dengan ayam domestik atau ayam hutan dengan ayam peliharaan yang tidak
dikandangkan.
Oleh IUCN, status ayam hutan merah masih digolongkan sebagai Least Concern dalam
daftar merah atau beresiko rendah dari kepunahan, karena daerah
sebarannya yang luas dan populasinya yang masih cukup besar. Dalam
bahasa daerah setempat, ayam hutan disebut Kasintu (Sunda), Ayam alas
(Jawa), Ajem alas (Madura), Manuk Kalek (Bugis).
2. Ayam hutan abu-abu/Grey Junglefowl (Gallus sonneratii Temminck, 1813)
Ayam hutan abu-abu adalah jenis ayam hutan endemik yang memiliki
daerah sebaran terbatas di India. Ayam jantan memiliki warna dasar tubuh
hitam dengan bintik berwarna merah tanah. Bulu di bagian punggung dan
dada tumbuh memanjang seperti bulu ayam bekisar, didominasi warna
abu-abu dengan pola yang indah. Bulu leher tidak sepanjang bulu ayam
hutan merah, berwarna lurik hitam dan kuning.
Sebagaimana ayam hutan merah, ayam hutan abu-abu juga menggugurkan
bulu lehernya, setelah lewatnya musim berbiak. Nama ilmiah ayam hutan
merah, didedikasikan oleh J. C. Temminck, direktur Museum sejarah alam
Leiden yang pertama, untuk menghormati penjelajah Perancis, Pierre Sonnerat.
Susunan bulu ekor sama dengan ayam hutan merah, kecuali bentuk
bulunya yang lebih lebar dengan ujung yang tumpul. Jengger berwarna
merah berpial bilah dengan gerigi yang halus. Muka juga berwarna merah
dengan sepasang gelambir di bawah dagu. Kaki berwarna merah.
Berbeda dengan ayam hutan merah, ayam hutan abu-abu ini tidak
mengepakkan sayapnya sebelum berkokok. Profil ayam hutan abu-abu dapat
dilihat pada Gambar 24 di bawah ini :
Ayam betina memiliki warna yang lebih suram. Pial/jengger dan
gelambir di kepala tidak ditemukan, sebagaimana ayam hutan merah betina.
Bulu bagian atas berwarna kuning kecoklatan bercampur merah tanah,
ekornya berwarna coklat kuning kehitaman.
Ciri yang paling menyolok adalah bulu dadanya yang tumbuh memanjang
dan melebar berwarna putih dengan ring hitam menitari tepi bulu. Pola
dan warna bulu dada ini menjadikan ayam hutan abu-abu betina sebagai
ayam betina terindah dibandingkan dengan spesies ayam hutan betina
lainnya. Profil ayam ini dapat dilihat pada Gambar 25 berikut ini.
Gambar 25. Ayam hutan abu-abu betina.
Ayam hutan abu-abu menyukai habitat hutan yang tidak terlalu lebat
dengan rumput yang sedikit atau tidak ada rumput sama sekali. Makanannya
terdiri dari berbagai macam biji-bijian, buah hutan dan serangga
terutama rayap.
Musim berbiak berkisar bulan Pebruari hingga Mei. 4 hingga 7 butir telur dierami betina di dalam sarang selama 21 hari.
Masyarakat lokal menyebut ayam ini Komri dalam bahasa Rajasthan, Geera kur atau Parda komri dalam bahasa Gondi, Jangli Murghi dalam bahasa Hindi, Raan kombdi dalam bahasa Marathi, Kattu Kozhi dalam bahasa Tamil and Malayalam, Kaadu koli dalam bahasa Kannada dan Tella adavi kodi dalam bahasa Telugu.
Status Konservasi
Ayam hutan abu-abu dalam daftar merah IUCN, dikategorikan berisiko
rendah (Least Concern) dari kepunahan. Ancaman utama adalah perburuan
untuk diambil dagingnya. Bulu ayam yang indah juga dijadikan sebagai
umpan untuk memancing ikan oleh penduduk setempat. Bulu ayam akan
dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai serangga atau lalat yang
sangat disukai ikan. Umpan ini didesain untuk mengapung di atas
permukaan air. Contoh umpan dari bulu dapat dilihat pada Gambar 26 di bawah ini
Gambar 26. Umpan pancing dari bulu ayam hutan abu-abu yang dibentuk mirip serangga. Sumber: Wikipedia.
3. Ayam hutan Srilangka/Ceylon Junglefowl (Gallus lafayetii, Lesson 1831)
Ayam hutan Srilangka adalah burung endemik yang memiliki daerah
sebaran terbatas di Pulau Srilangka. Nama ilmiah ayam ini, didedikasikan
oleh Rene Lesson, seorang ahli bedah angkatan laut dan naturalis
berkebangsaan Perancis, untuk menghormati seorang bangsawan di
negaranya, Gilbert du Motier-Marquis de La Fayette. Rene Lesson tercatat sebagai ilmuwan Eropa pertama yang melihat burung Cendrawasih di habitat aslinya, di Maluku dan Papua.
Ayam hutan Srilangka memiliki warna dasar hitam, dengan warna kuning
keemasan di leher dan warna jingga gelap di sekitar punggung. Wajah
berwarna merah dengan jengger merah berbentuk bilah besar yang
bergerigi. Bagian tengah jengger berwarna kuning. Sepasang gelambir
cukup besar menggantung di bawah dagu. Kaki berwarna kuning kemerahan
dengan taji yang agak lurus dan runcing. Ekor memiliki warna hitam hijau
keunguan dengan susunan yang serupa dengan ayam hutan merah.
Panjang ayam jantan berkisar 66-73 cm dengan berat 0,8-1,2 kg. Betina
jauh lebih kecil, dengan panjang 30-35 cm dan berat 0,5-0,6 kg. Ukuran
jengger akan mengecil setelah melewati musim kawin. Profil ayam hutan
Srilangka dapat dilihat pada Gambar 27. berikut ini.
Gambar 27. Ayam hutan Srilangka. Sumber: Wikipedia.
Ayam betina memiliki warna tubuh coklat yang suram. Bulu dada agak
besar dengan warna dasar coklat. Tepi bulu dada berwarna putih. Ciri
khas dari ayam hutan Srilangka betina terletak pada bulu sayapnya yang
berwarna belang antara coklat dan putih (Gambar 28). Betina bersarang di tanah dengan 2-4 telur berwarna krem atau coklat.
Ayam hutan Srilangka memiliki perilaku bersarang yang unik
dibandingkan ayam hutan lainnya. Ayam hutan betina cenderung bersifat
polyandri dan berhubungan dengan beberapa pejantan yang masih
bersaudara.
Pejantan paling dominan (pejantan alfa), bertugas mengawini betina
dan siaga melindungi betina. Pejantan alfa memiliki bunyi kokok tertentu
yang berfungsi seperti alarm, jika sesuatu yang berpotensi bahaya
mendekati sarang.
Pejantan Beta yang lebih inferior, bertugas menjaga dan berpatroli
agak jauh dari sarang betina untuk melindungi sarang dari predator atau
pemangsa seperti ular dan musang. Telur akan menetas setelah dierami
selama 20 hari.
Gambar 28. Ayam hutan Srilangka Betina. Sumber: Wikipedia.
Sebagaimana ayam hutan lainnya, ayam hutan Srilangka bersifat
terestrial. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari makanan
dengan mengais tanah di lantai hutan untuk mencari biji-bijian, buah
yang jatuh dan serangga. Anak ayam yang masih muda sangat membutuhkan
asupan makanan hidup, berupa berbagai jenis serangga dan juvenil
kepiting darat. Sedangkan ayam dewasa memiliki menu yang lebih
bervariasi.
Ayam jutan Srilangka sangat peka terhadap penyakit yang menyerang
ayam ras atau ayam kampung pada umumnya. Ayam ini juga terbiasa memakan
mangsa yang hidup, sehingga tidak bisa mengkonsumsi makanan buatan
pabrik. Oleh karena itu, ayam hutan Srilangka sangat sulit dipelihara di
penangkaran.
Status Konservasi
Populasi ayam hutan Srilangka yang masih banyak ditemukan di habitatnya, membuat IUCN memasukkan ayam ini dalam kategori Least Concern atau berisiko rendah untuk mengalami kepunahan. Jika
populasi ayam ini dalam kondisi kritis di habitat aslinya, akan sangat
sulit mencegahnya dari kepunahan, sebab ayam hutan Srilangka ini cukup
sulit dikembangbiakkan di penangkaran. Wali Kukula, demikian masyarakat setempat memberi nama ayam hutan ini, juga dikenal sebagai burung nasional Srilangka
.
4. Ayam hutan hijau/Green Junglefowl (Gallus varius Shaw, 1798)
Ayam hutan hijau adalah ayam hutan endemik Indonesia yang tersebar di
Pulau Jawa, Bali, Lombok, Komodo, Flores, Rinca dan pulau-pulau kecil
di sekitarnya. Ayam ini termasuk burung berukuran besar, dengan ukuran
panjang jantan berkisar antara 70-75 cm. Sedangkan betina, berukuran
lebih kecil, yaitu berkisar 40-45 cm.
Ayam hutan hijau memiliki bentuk dan warna yang paling unik di antara
semua jenis ayam hutan, karena ciri-cirinya yang lebih menyerupai
burung pheasant.
Gambar 29. Ayam hutan hijau. Sumber: Flickr
Pial/jengger dan gelambir ayam hutan hijau memiliki ukuran paling
besar dibandingkan dengan jengger dan gelambir dari spesies ayam hutan
lainnya. Jengger ayam hutan hijau berbentuk bilah yang sangat besar,
berwarna merah muda dengan tepi membulat tanpa gerigi. Bagian tengah
jengger berwarna biru muda dan kuning.
Gelambir yang menggantung di bawah dagu juga sangat lebar, berwarna
merah muda. Tepi gelambir bagian bawah berwarna biru muda, sedangkan
tepi gelambir bagian dalam berwarna kuning.
Gambar 30. Kepala dan dada ayam hutan hijau. Sumber: Flickr
Berbeda dengan bulu leher ayam hutan pada umumnya yang tumbuh
memanjang dan sempit, bulu leher, tengkuk dan mantel ayam hutan hijau,
tumbuh pendek, membulat atau sedikit meruncing dan tumpang tindih
seperti sisik ikan. Bulu leher ini berwarna hijau, yang bisa
berubah-ubah seperti warna minyak tanah di atas air (iridescent). Tepian bulu leher berwarna hitam. Fenomena gugur bulu (moulting) di bagian leher, tidak ditemukan pada ayam hutan hijau.
Bulu sayap atas tumbuh sempit memanjang, berwarna hitam dengan tepian
berwarna jingga. Bulu pinggul juga berbentuk sama, hanya saja tepiannya
berwarna kuning keemasan. Bagian bawah tubuh dan ekor berwarna hitam
bercampur ungu dan hijau berkilauan.
Ayam hutan betina berwarna kuning kecoklatan, dengan garis-garis dan
bintik hitam. Iris merah, paruh abu-abu keputihan. Jengger dan gelambir
tidak ada. Kaki kekuningan atau agak kemerahan tanpa taji.
Gambar 31. Ayam hutan hijau betina. Sumber: Wikipedia
Ayam hutan hijau menyukai daerah terbuka, tepi hutan, padang rumput
dan daerah berbukit dekat pantai. Ayam ini cenderung hidup berkelompok
dengan anggota 2-7 ekor. Saat pagi dan sore hari, ayam hutan jantan akan
memimpin beberapa ekor betina beserta anaknya, menuju padang rumput
atau daerah terbuka untuk mencari makan atau menuju sumber air untuk
minum. Makanannya terdiri dari biji-bijian, serangga, pucuk rumput dan
daun serta hewan kecil seperti jangkrik, lipan, kadal dan katak kecil.
Seringkali, ayam hutan hijau akan bergabung dengan banteng, sapi,
rusa dan kerbau, untuk menangkap serangga yang beterbangan, karena
terusik oleh pergerakan hewan besar yang sedang merumput itu.
Kadang-kadang, ayam ini juga akan mengais kotoran hewan besar tadi,
untuk mencari biji-bijian yang masih tersisa atau menangkap serangga
yang mengerumuni kotoran tersebut.
Saat terik mulai menyengat di siang hari, ayam hutan hijau akan
segera kembali, memasuki keremangan tajuk hutan, untuk berlindung. Saat
senja menjelang, kelompok ayam ini akan terbang ke atas rumpun bambu,
perdu dan palem pada ketinggian 2-8 meter untuk beristirahat melewatkan
malam.
Gambar 32. Ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat. Sumber: Wikipedia.
Musim berbiak terjadi pada bulan Oktober dan Nopember di Jawa Barat
dan Maret-Juli di Jawa Timur. Pada musim ini, pejantan akan sibuk
memikat betina dengan tarian dan peragaan bulunya yang indah.
Seringkali, pejantan muda yang sudah dewasa dan belum memiliki pasangan
akan menantang pejantan dominan untuk memperebutkan betina. Pertarungan
sengit pun tak dapat dihindari lagi. Pemenangnya akan menjadi pemimpin
kelompok dan berhak mengawini betina.
Sarang ayam hutan hijau terbuat dari rumput, daun dan ranting kering
yang sederhana dan berada di atas tanah. Sarang ini umumnya berada dalam
semak yang rapat atau rumput yang tinggi. Telur berwarna putih,
berjumlah 3-4 butir dan akan dierami selama 21-26 hari. Di antara semua
jenis ayam hutan, ayam ini memiliki masa pengeraman yang paling lama.
Anak ayam yang telah menetas akan cepat mandiri dan memiliki kemampuan
terbang yang baik hanya dalam beberapa minggu saja.
Status Konservasi
IUCN menyatakan, populasi ayam hutan hijau masih berisiko rendah (
Least Concern)
untuk punah. Akan tetapi, degradasi habitat dan perburuan liar tetap
mengancam kelestarian ayam ini. Ayam hutan hijau, sangat populer di Jawa
Timur, sebagai induk jantan yang disilangkan dengan ayam kampung
betina, untuk menghasilkan ayam hibrid eksotis yang disebut
Ayam Bekisar. Artikel tentang ayam bekisar ini dapat dilihat di:
http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/03/bisnis-budidaya-ayam-bekisar.html
Gambar 34. Ayam Bekisar kuning/jingga.
Ayam Bekisar jantan umumnya fertil (subur). Sedangkan ayam bekisar betina selalu steril (tidak
subur), sehingga tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Perkawinan
silang ini dapat menurunkan keragaman genetik ayam hutan hijau, sebab
kegiatan ini tidak diikuti dengan upaya pelestarian, yaitu: mengawinkan
ayam hutan hijau jantan dengan betina dari spesiesnya sendiri. Ayam
hutan hijau juga dikenal sebagai fauna identitas Propinsi Jawa Timur.
Gambar 35. Ayam Bekisar Merah. Sumber: bejubel.com
Indonesia adalah negara yang dianugerahi kekayaan alam yang luar
biasa oleh sang Pencipta. Mari kita lindungi, kita lestarikan dan kita
manfaatkan anugerah tersebut dengan cara yang bijak. Semoga tulisan ini
bermanfaat (D-094).
Referensi Utama :
Diwyanto, K dan Prijono, S. N (eds). 2007. Keanekaragaman Sumberdaya
Hayati Ayam Lokal Indonesia. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. 212 pp.
Mac. Kinnon, et al. 2002. Seri Panduan Lapangan. Burung-Burung Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife dan LIPI.
Rahayu, Iman. 2001. Karakteristik dan Tingkah Laku Ayam Hutan Merah (Galllus gallus spadiceus) di dalam Kurungan. Med. Pet. Vol.24. No.2.
Rujukan: